Senin, 20 September 2010

3 Hati yang Berbeda

Hujan begitu deras. Aku mengulurkan tangan ke bawah cucuran atap. Membiarkan rintik-rintik hujan membasahi tangan ini. Ku tatap gelas kaca yang berisi susu panas yang tersaji di atas meja lesehan. Aku memalingkan pandangan. Lalu menatap Ifat.
“Aku udah ngungkapin prasaan aku Cin ma Julian. Soalnya aku gak tahan lagi buat nahannya. Semakin sakit kalo aku tetep memendamnya. Apa ini terlalu cepat, Cin?” suara Ifat pun terpecah. Persis seperti getar-getar cinta yang saat ini memenuhi seluruh syarafnya. Ifat menatapku, yang sedang mengharapkan jawaban. Jawaban dari akhir ceritanya selama ini. Seteguk susu panas menghangatkan lambungku. Aku menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku untuk menjawabnya. Berharap Ifat puas dengan jawabanku. Ia sedikit terhibur.
Lalu ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba Nokiaku bergetar. Terlihat di layarnya tertera nama ‘Julian’. Tanganku sedikit gemetaran. Serentak aku pun melihat Ifat. Lalu “Fat, bentar ya, Shella nelfon ni.”
Julian masih terus memanggil. Sedikit gugup, aku pun menjauh dari Ifat. Berusaha agar ia tidak mendengar semua perbincanganku dengan Julian.
“Halo Assalamu’alaikum Yan, ada apa?” aku mengecilkan suara.
“Cindy! Tugas Metode Penelitian udah siap? Yan kurang ngerti ni. Ajarin Yan ya Cin!”
“Apa? Aku?” tanyaku gugup
‘Ia! Please!” jawabnya dengan penuh harap
“T…ta…ta…pi, Aku rasa Julian lebih paham dari Aku!”
“Please, Cin! Aku nggak paham Metode Penelitian!”
“Ya udah, di pustaka wilayah, besok, jam 1!” sambungku tanpa ada keraguan.
“Ok Cin, makasih yaa!”

****
Ifat masih menikmati pandangannya yang hampa, sepertinya ia masih memikirkan jawaban apa yang ia dapatkan dari Julian. Dari tadi ia hanya membelai-belai gelasnya. Belum seteguk pun diminumnya.
“Fat, Aku lagi bingung.“
Tiba-tiba petir besar menyambar. Mengejutkan semua pengunjung lesehan. Termasuk aku dan Ifat.
“Bingung kenapa Cin?” Ifat meresponku.
“Bingung untuk memilih” jawabku gugup
“Emang kamu bingung milih apa?”
“Aku bingung Fat, harus mandahulukan keinginan Aku sendiri ato ngalah aja? Soalnya kemaren ni Aziz nawarin Aku buat gabung dengan group nasyidnya (hehehe), padahal Ifat tau sendiri kan kalo Dede tu udah lama pengen gabung dengan groupnya si Aziz..”
Aku menjadi seorang pembohong ulung di keadaan ini. Aku cuma pengen tau apa jawaban dari dia. Berharap Ifat menjawab secara jujur, aku meng-analogi-kan nya.
Ifat pun mengeluarkan pendapatnya.” Cin, kesempatan itu gak datang dua kali, mending kamu terima tawaran Aziz. Urusan Dede nanti di pikirkan, Dede itu sebenarnya lebih pas kalo di gabungin ama Iza, bukan ma Aziz. Lagian kamu kan udah sering juga ikut latihan ama Aziz.”
Dalam hatiku, “Jadi, Aku lebih pantas untuk Julian ya Fat?”
****

Keesokan harinya. Julian sudah menungguku. Dari balik kaca bening, jelas aku melihatnya mengutak-atik sebuah laptop. Rasa bersalah itu mulai bergejolak kembali. Apakah aku sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang? Aku yang menepuk air. Sayangnya, yang basah bukan mukaku, tapi muka Ifat. Apa yang harus aku dahulukan? Perasaan aku sendiri atau perasaan sang sahabat. Langkah ini begitu berat. Semakin berat ketika aku semakin berada dekat dengannya.
“Hmm” Julian mendekat ke arahku.
“Ngagetin aja!” aku menyapanya dengan sedikit gurauan. Berusaha mengurangi ketegangan ketika didekatnya.
Senyumnya pun melebar. Enam bulan aku mengenalnya, belum pernah ia tersenyum seperti ini. Senyum yang merekah, polos, dan senyum sebuah kejujuran dengan mata yang bercahaya menatapku. Apakah senyum ini untukku Yan? Ah! Jangan mimpi, Cin!
“Seharusnya aku tidak melihat senyum indahnya di pagi ini…”, Pikirku.
“Udah ganti profesi jadi tukang jaga pintu masuk Pus-Wil ya Cin? hehehe”
Sentak aku terkejut mendengarnya. Berarti dari tadi ia memperhatikan aku yang tengah mematung di pintu masuk pustaka wilayah. Wajahku memerah. Dadaku berdebar. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku. Harapanku, dia tidak ingin tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Ada perasaan berbeda ketika aku berada dekat dengannya. Aku tahu, mata hatimu selalu memandangku, Yan. Aku merasakannya! Ketika kita sedang belajar bareng, ketika kita sedang berdiskusi, atau ketika kita sedang bergurau. Mungkin dirimu tak tahu tentang itu.
Julian, ingat gak! sebuah kata yang pernah keluar dari mulutmu “karena Yan suka kamu, Cin! hehehe”.
Kini sedang menjadi hantu dalam setiap waktu dan nafasku. Walaupun ketika itu kita hanya bercanda. Aku senang mendengarnya. Senang sekali!
“Hei…!” Julian mengejutkanku. “Melamun aja! Mikirin apa?”
“ng…ngg…nggak. Nggak mikir apa-apa kok. Benar, aku nggak mikir apa-apa!” aku meyakinkan Julian. Berusaha mengembalikan konsentrasi pada pelajaran yang akan kami bahas. Keringatku masih bercucuran. Bahkan lebih deras lagi. Penyejuk ruangan tak mampu menahan keringatku. Sekuat tenaga aku berusaha fokus. “Fokus Cin! Fokus!” Jeritku dalam hati.
Dan untuk pertama kalinya pandangan kami saling menyatu. Bertemu pada satu titik yang sangat aku harapkan.
“Julian! Julian Lagi ada masalah ya?”
“Nggak! Emang keliatannya kayak lagi ada masalah ya?”
Aku menganggukkan kepala. “Jangan bo’ong!” jawabku
Aku tahu ini salah. Pesan yang dipercayakan Ifat, telah aku salah gunakan untuk kepentingan diriku sendiri. Menggali perasaan seseorang yang kuharapkan kehadirannya di hidupku dengan menggunakan alasan karena Ifat.
Julian mengembalikan pandangan pada sebuah buku yang berada di tangannya.
“Cindy!”
Aku memandangnya. Lalu, mencoba untuk berfikir positif, dia akan bertanya tentang pelajaran. Tidak lebih dari itu.
Julian melanjutkan perkataannya yang membuatku bingung. “Sebagai cowok, kalo ada cewek yang ngungkapin perasaannya ama Julian, Julian seneng banget Cin. Tapi sayang, perasaan Yan gak bisa berkata ya, untuk itu.”
“Untuk itu apa Yan? Dan kenapa?” aku pura-pura tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Julian. Jauh di dalam hatiku bertabur rasa senang karena aku telah mendapatkan jawaban Julian yang paling dinantikan Ifat. Tapi, aku tidak boleh mengorbankan perasaan siapapun. Walau pada ujungnya, perasaanku sendiri yang akan sakit.
“Karena hati Yan gak sependapat dengan hatinya”
“Gak sependapat gimana ni Yan?” Tanyaku penuh curiga.
“Yan gak ada rasa sedikit pun ama dia Cin, tapi ada satu hal yang ingin Yan katakan, kalo Ifat tu sebenarnya adalah cewek yang sempurna” sambungnya.
Julian membalikkan halaman bukunya. Aku menatap wajahnya. Berpikir apa dia akan menerima Ifat ato menolaknya. Ifat memang wanita yang sempurna, dia cantik, cerdas, baik, dan dia mampu menutup hatinya untuk menunggu seorang Julian. Tidak seperti diriku yang si buruk rupa, bodoh, plin-plan pulak lagi, Tapi ada 1 hal yang ku banggakan dari diriku, yaitu..kayaknya gak perlu di publikasikan dech. Hehehe.
Lalu, Julian kembali menatapku dalam. Tatapan yang ingin menemukan sesuatu dalam diriku. Menarik semua perhatianku dengan kata-kata yang membelaiku hingga lelap dalam mimpi indah.
“Yan sekarang udah berada di ‘dekat’ hatinya Ifat, tapi Yan inginkan Cindy yang berada di ‘dalam’ hati Yan.”
Aku terpaku mendengarkan ucapannya barusan. Di satu sisi aku seneng dengernya, tapi di sisi lain aku merasa amat sangat bersalah ama Ifat, karena telah menjadi tirai di balik cerita ini. Tapi aku hanya menginginkan yang terbaik. Yang terbaik buat aku, Ifat dan Julian.

****

Malam ini, pukul 19.24 Aku membuka laptop.
“Malam ini, 13 Juni 2010 Aku ingin mencurahkan semua yang ku rasa, tapi gak tau ama siapa.
Aku sering dihadapkan pada dua pilihan. Tapi, ini lebih sulit dari apa yang pernah aku pilih sebelumnya. Maafin aku Fat karena aku udah boongin kamu dan prasaan ini selama ini. Bagaimana rasa ingin taunya kamu tentang Julian, lebih kuat rasa ingin tahuku, Fat. Ketika kau merindukan Julian, aku lebih merindukannya. Ketika kau bercerita padaku tentang rasa cintamu dengan Julian, aku merasa sakit, Fat. Kusembunyikan rasa ini karena aku tahu, Ifat lebih dulu mengeja sunyi. Percayalah! Ifat tak akan terluka. Aku menginginkan Ifat bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar