aku :)
Senin, 20 September 2010
aku :): Tutuplah rapat-rapat pintu masa lalu
aku :): Tutuplah rapat-rapat pintu masa lalu: "Episode dari tragedi masa lalu kini telah berakhir, kesedihan takkan mampu untuk memperbaikinya, sikap apatis dan melankolis tidak dapat ..."
aku :): 3 Hati yang Berbeda
aku :): 3 Hati yang Berbeda: "Hujan begitu deras. Aku mengulurkan tangan ke bawah cucuran atap. Membiarkan rintik-rintik hujan membasahi tangan ini. Ku tatap gelas kaca ..."
when i think of what i have, n this chance i nearly lost..
always said i would know where to find love, always thought i'd be ready n strong enough, but sometimes i just felt i could give up, but u came n u changed my whole world now, im somewhere i've never been before, now i see..what love means..
3 Hati yang Berbeda
Hujan begitu deras. Aku mengulurkan tangan ke bawah cucuran atap. Membiarkan rintik-rintik hujan membasahi tangan ini. Ku tatap gelas kaca yang berisi susu panas yang tersaji di atas meja lesehan. Aku memalingkan pandangan. Lalu menatap Ifat.
“Aku udah ngungkapin prasaan aku Cin ma Julian. Soalnya aku gak tahan lagi buat nahannya. Semakin sakit kalo aku tetep memendamnya. Apa ini terlalu cepat, Cin?” suara Ifat pun terpecah. Persis seperti getar-getar cinta yang saat ini memenuhi seluruh syarafnya. Ifat menatapku, yang sedang mengharapkan jawaban. Jawaban dari akhir ceritanya selama ini. Seteguk susu panas menghangatkan lambungku. Aku menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku untuk menjawabnya. Berharap Ifat puas dengan jawabanku. Ia sedikit terhibur.
Lalu ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba Nokiaku bergetar. Terlihat di layarnya tertera nama ‘Julian’. Tanganku sedikit gemetaran. Serentak aku pun melihat Ifat. Lalu “Fat, bentar ya, Shella nelfon ni.”
Julian masih terus memanggil. Sedikit gugup, aku pun menjauh dari Ifat. Berusaha agar ia tidak mendengar semua perbincanganku dengan Julian.
“Halo Assalamu’alaikum Yan, ada apa?” aku mengecilkan suara.
“Cindy! Tugas Metode Penelitian udah siap? Yan kurang ngerti ni. Ajarin Yan ya Cin!”
“Apa? Aku?” tanyaku gugup
‘Ia! Please!” jawabnya dengan penuh harap
“T…ta…ta…pi, Aku rasa Julian lebih paham dari Aku!”
“Please, Cin! Aku nggak paham Metode Penelitian!”
“Ya udah, di pustaka wilayah, besok, jam 1!” sambungku tanpa ada keraguan.
“Ok Cin, makasih yaa!”
****
Ifat masih menikmati pandangannya yang hampa, sepertinya ia masih memikirkan jawaban apa yang ia dapatkan dari Julian. Dari tadi ia hanya membelai-belai gelasnya. Belum seteguk pun diminumnya.
“Fat, Aku lagi bingung.“
Tiba-tiba petir besar menyambar. Mengejutkan semua pengunjung lesehan. Termasuk aku dan Ifat.
“Bingung kenapa Cin?” Ifat meresponku.
“Bingung untuk memilih” jawabku gugup
“Emang kamu bingung milih apa?”
“Aku bingung Fat, harus mandahulukan keinginan Aku sendiri ato ngalah aja? Soalnya kemaren ni Aziz nawarin Aku buat gabung dengan group nasyidnya (hehehe), padahal Ifat tau sendiri kan kalo Dede tu udah lama pengen gabung dengan groupnya si Aziz..”
Aku menjadi seorang pembohong ulung di keadaan ini. Aku cuma pengen tau apa jawaban dari dia. Berharap Ifat menjawab secara jujur, aku meng-analogi-kan nya.
Ifat pun mengeluarkan pendapatnya.” Cin, kesempatan itu gak datang dua kali, mending kamu terima tawaran Aziz. Urusan Dede nanti di pikirkan, Dede itu sebenarnya lebih pas kalo di gabungin ama Iza, bukan ma Aziz. Lagian kamu kan udah sering juga ikut latihan ama Aziz.”
Dalam hatiku, “Jadi, Aku lebih pantas untuk Julian ya Fat?”
****
Keesokan harinya. Julian sudah menungguku. Dari balik kaca bening, jelas aku melihatnya mengutak-atik sebuah laptop. Rasa bersalah itu mulai bergejolak kembali. Apakah aku sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang? Aku yang menepuk air. Sayangnya, yang basah bukan mukaku, tapi muka Ifat. Apa yang harus aku dahulukan? Perasaan aku sendiri atau perasaan sang sahabat. Langkah ini begitu berat. Semakin berat ketika aku semakin berada dekat dengannya.
“Hmm” Julian mendekat ke arahku.
“Ngagetin aja!” aku menyapanya dengan sedikit gurauan. Berusaha mengurangi ketegangan ketika didekatnya.
Senyumnya pun melebar. Enam bulan aku mengenalnya, belum pernah ia tersenyum seperti ini. Senyum yang merekah, polos, dan senyum sebuah kejujuran dengan mata yang bercahaya menatapku. Apakah senyum ini untukku Yan? Ah! Jangan mimpi, Cin!
“Seharusnya aku tidak melihat senyum indahnya di pagi ini…”, Pikirku.
“Udah ganti profesi jadi tukang jaga pintu masuk Pus-Wil ya Cin? hehehe”
Sentak aku terkejut mendengarnya. Berarti dari tadi ia memperhatikan aku yang tengah mematung di pintu masuk pustaka wilayah. Wajahku memerah. Dadaku berdebar. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku. Harapanku, dia tidak ingin tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Ada perasaan berbeda ketika aku berada dekat dengannya. Aku tahu, mata hatimu selalu memandangku, Yan. Aku merasakannya! Ketika kita sedang belajar bareng, ketika kita sedang berdiskusi, atau ketika kita sedang bergurau. Mungkin dirimu tak tahu tentang itu.
Julian, ingat gak! sebuah kata yang pernah keluar dari mulutmu “karena Yan suka kamu, Cin! hehehe”.
Kini sedang menjadi hantu dalam setiap waktu dan nafasku. Walaupun ketika itu kita hanya bercanda. Aku senang mendengarnya. Senang sekali!
“Hei…!” Julian mengejutkanku. “Melamun aja! Mikirin apa?”
“ng…ngg…nggak. Nggak mikir apa-apa kok. Benar, aku nggak mikir apa-apa!” aku meyakinkan Julian. Berusaha mengembalikan konsentrasi pada pelajaran yang akan kami bahas. Keringatku masih bercucuran. Bahkan lebih deras lagi. Penyejuk ruangan tak mampu menahan keringatku. Sekuat tenaga aku berusaha fokus. “Fokus Cin! Fokus!” Jeritku dalam hati.
Dan untuk pertama kalinya pandangan kami saling menyatu. Bertemu pada satu titik yang sangat aku harapkan.
“Julian! Julian Lagi ada masalah ya?”
“Nggak! Emang keliatannya kayak lagi ada masalah ya?”
Aku menganggukkan kepala. “Jangan bo’ong!” jawabku
Aku tahu ini salah. Pesan yang dipercayakan Ifat, telah aku salah gunakan untuk kepentingan diriku sendiri. Menggali perasaan seseorang yang kuharapkan kehadirannya di hidupku dengan menggunakan alasan karena Ifat.
Julian mengembalikan pandangan pada sebuah buku yang berada di tangannya.
“Cindy!”
Aku memandangnya. Lalu, mencoba untuk berfikir positif, dia akan bertanya tentang pelajaran. Tidak lebih dari itu.
Julian melanjutkan perkataannya yang membuatku bingung. “Sebagai cowok, kalo ada cewek yang ngungkapin perasaannya ama Julian, Julian seneng banget Cin. Tapi sayang, perasaan Yan gak bisa berkata ya, untuk itu.”
“Untuk itu apa Yan? Dan kenapa?” aku pura-pura tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Julian. Jauh di dalam hatiku bertabur rasa senang karena aku telah mendapatkan jawaban Julian yang paling dinantikan Ifat. Tapi, aku tidak boleh mengorbankan perasaan siapapun. Walau pada ujungnya, perasaanku sendiri yang akan sakit.
“Karena hati Yan gak sependapat dengan hatinya”
“Gak sependapat gimana ni Yan?” Tanyaku penuh curiga.
“Yan gak ada rasa sedikit pun ama dia Cin, tapi ada satu hal yang ingin Yan katakan, kalo Ifat tu sebenarnya adalah cewek yang sempurna” sambungnya.
Julian membalikkan halaman bukunya. Aku menatap wajahnya. Berpikir apa dia akan menerima Ifat ato menolaknya. Ifat memang wanita yang sempurna, dia cantik, cerdas, baik, dan dia mampu menutup hatinya untuk menunggu seorang Julian. Tidak seperti diriku yang si buruk rupa, bodoh, plin-plan pulak lagi, Tapi ada 1 hal yang ku banggakan dari diriku, yaitu..kayaknya gak perlu di publikasikan dech. Hehehe.
Lalu, Julian kembali menatapku dalam. Tatapan yang ingin menemukan sesuatu dalam diriku. Menarik semua perhatianku dengan kata-kata yang membelaiku hingga lelap dalam mimpi indah.
“Yan sekarang udah berada di ‘dekat’ hatinya Ifat, tapi Yan inginkan Cindy yang berada di ‘dalam’ hati Yan.”
Aku terpaku mendengarkan ucapannya barusan. Di satu sisi aku seneng dengernya, tapi di sisi lain aku merasa amat sangat bersalah ama Ifat, karena telah menjadi tirai di balik cerita ini. Tapi aku hanya menginginkan yang terbaik. Yang terbaik buat aku, Ifat dan Julian.
****
Malam ini, pukul 19.24 Aku membuka laptop.
“Malam ini, 13 Juni 2010 Aku ingin mencurahkan semua yang ku rasa, tapi gak tau ama siapa.
Aku sering dihadapkan pada dua pilihan. Tapi, ini lebih sulit dari apa yang pernah aku pilih sebelumnya. Maafin aku Fat karena aku udah boongin kamu dan prasaan ini selama ini. Bagaimana rasa ingin taunya kamu tentang Julian, lebih kuat rasa ingin tahuku, Fat. Ketika kau merindukan Julian, aku lebih merindukannya. Ketika kau bercerita padaku tentang rasa cintamu dengan Julian, aku merasa sakit, Fat. Kusembunyikan rasa ini karena aku tahu, Ifat lebih dulu mengeja sunyi. Percayalah! Ifat tak akan terluka. Aku menginginkan Ifat bahagia.
“Aku udah ngungkapin prasaan aku Cin ma Julian. Soalnya aku gak tahan lagi buat nahannya. Semakin sakit kalo aku tetep memendamnya. Apa ini terlalu cepat, Cin?” suara Ifat pun terpecah. Persis seperti getar-getar cinta yang saat ini memenuhi seluruh syarafnya. Ifat menatapku, yang sedang mengharapkan jawaban. Jawaban dari akhir ceritanya selama ini. Seteguk susu panas menghangatkan lambungku. Aku menggelengkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata pun dari mulutku untuk menjawabnya. Berharap Ifat puas dengan jawabanku. Ia sedikit terhibur.
Lalu ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Tiba-tiba Nokiaku bergetar. Terlihat di layarnya tertera nama ‘Julian’. Tanganku sedikit gemetaran. Serentak aku pun melihat Ifat. Lalu “Fat, bentar ya, Shella nelfon ni.”
Julian masih terus memanggil. Sedikit gugup, aku pun menjauh dari Ifat. Berusaha agar ia tidak mendengar semua perbincanganku dengan Julian.
“Halo Assalamu’alaikum Yan, ada apa?” aku mengecilkan suara.
“Cindy! Tugas Metode Penelitian udah siap? Yan kurang ngerti ni. Ajarin Yan ya Cin!”
“Apa? Aku?” tanyaku gugup
‘Ia! Please!” jawabnya dengan penuh harap
“T…ta…ta…pi, Aku rasa Julian lebih paham dari Aku!”
“Please, Cin! Aku nggak paham Metode Penelitian!”
“Ya udah, di pustaka wilayah, besok, jam 1!” sambungku tanpa ada keraguan.
“Ok Cin, makasih yaa!”
****
Ifat masih menikmati pandangannya yang hampa, sepertinya ia masih memikirkan jawaban apa yang ia dapatkan dari Julian. Dari tadi ia hanya membelai-belai gelasnya. Belum seteguk pun diminumnya.
“Fat, Aku lagi bingung.“
Tiba-tiba petir besar menyambar. Mengejutkan semua pengunjung lesehan. Termasuk aku dan Ifat.
“Bingung kenapa Cin?” Ifat meresponku.
“Bingung untuk memilih” jawabku gugup
“Emang kamu bingung milih apa?”
“Aku bingung Fat, harus mandahulukan keinginan Aku sendiri ato ngalah aja? Soalnya kemaren ni Aziz nawarin Aku buat gabung dengan group nasyidnya (hehehe), padahal Ifat tau sendiri kan kalo Dede tu udah lama pengen gabung dengan groupnya si Aziz..”
Aku menjadi seorang pembohong ulung di keadaan ini. Aku cuma pengen tau apa jawaban dari dia. Berharap Ifat menjawab secara jujur, aku meng-analogi-kan nya.
Ifat pun mengeluarkan pendapatnya.” Cin, kesempatan itu gak datang dua kali, mending kamu terima tawaran Aziz. Urusan Dede nanti di pikirkan, Dede itu sebenarnya lebih pas kalo di gabungin ama Iza, bukan ma Aziz. Lagian kamu kan udah sering juga ikut latihan ama Aziz.”
Dalam hatiku, “Jadi, Aku lebih pantas untuk Julian ya Fat?”
****
Keesokan harinya. Julian sudah menungguku. Dari balik kaca bening, jelas aku melihatnya mengutak-atik sebuah laptop. Rasa bersalah itu mulai bergejolak kembali. Apakah aku sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang? Aku yang menepuk air. Sayangnya, yang basah bukan mukaku, tapi muka Ifat. Apa yang harus aku dahulukan? Perasaan aku sendiri atau perasaan sang sahabat. Langkah ini begitu berat. Semakin berat ketika aku semakin berada dekat dengannya.
“Hmm” Julian mendekat ke arahku.
“Ngagetin aja!” aku menyapanya dengan sedikit gurauan. Berusaha mengurangi ketegangan ketika didekatnya.
Senyumnya pun melebar. Enam bulan aku mengenalnya, belum pernah ia tersenyum seperti ini. Senyum yang merekah, polos, dan senyum sebuah kejujuran dengan mata yang bercahaya menatapku. Apakah senyum ini untukku Yan? Ah! Jangan mimpi, Cin!
“Seharusnya aku tidak melihat senyum indahnya di pagi ini…”, Pikirku.
“Udah ganti profesi jadi tukang jaga pintu masuk Pus-Wil ya Cin? hehehe”
Sentak aku terkejut mendengarnya. Berarti dari tadi ia memperhatikan aku yang tengah mematung di pintu masuk pustaka wilayah. Wajahku memerah. Dadaku berdebar. Keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku. Harapanku, dia tidak ingin tahu apa yang sedang aku rasakan saat ini.
Ada perasaan berbeda ketika aku berada dekat dengannya. Aku tahu, mata hatimu selalu memandangku, Yan. Aku merasakannya! Ketika kita sedang belajar bareng, ketika kita sedang berdiskusi, atau ketika kita sedang bergurau. Mungkin dirimu tak tahu tentang itu.
Julian, ingat gak! sebuah kata yang pernah keluar dari mulutmu “karena Yan suka kamu, Cin! hehehe”.
Kini sedang menjadi hantu dalam setiap waktu dan nafasku. Walaupun ketika itu kita hanya bercanda. Aku senang mendengarnya. Senang sekali!
“Hei…!” Julian mengejutkanku. “Melamun aja! Mikirin apa?”
“ng…ngg…nggak. Nggak mikir apa-apa kok. Benar, aku nggak mikir apa-apa!” aku meyakinkan Julian. Berusaha mengembalikan konsentrasi pada pelajaran yang akan kami bahas. Keringatku masih bercucuran. Bahkan lebih deras lagi. Penyejuk ruangan tak mampu menahan keringatku. Sekuat tenaga aku berusaha fokus. “Fokus Cin! Fokus!” Jeritku dalam hati.
Dan untuk pertama kalinya pandangan kami saling menyatu. Bertemu pada satu titik yang sangat aku harapkan.
“Julian! Julian Lagi ada masalah ya?”
“Nggak! Emang keliatannya kayak lagi ada masalah ya?”
Aku menganggukkan kepala. “Jangan bo’ong!” jawabku
Aku tahu ini salah. Pesan yang dipercayakan Ifat, telah aku salah gunakan untuk kepentingan diriku sendiri. Menggali perasaan seseorang yang kuharapkan kehadirannya di hidupku dengan menggunakan alasan karena Ifat.
Julian mengembalikan pandangan pada sebuah buku yang berada di tangannya.
“Cindy!”
Aku memandangnya. Lalu, mencoba untuk berfikir positif, dia akan bertanya tentang pelajaran. Tidak lebih dari itu.
Julian melanjutkan perkataannya yang membuatku bingung. “Sebagai cowok, kalo ada cewek yang ngungkapin perasaannya ama Julian, Julian seneng banget Cin. Tapi sayang, perasaan Yan gak bisa berkata ya, untuk itu.”
“Untuk itu apa Yan? Dan kenapa?” aku pura-pura tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Julian. Jauh di dalam hatiku bertabur rasa senang karena aku telah mendapatkan jawaban Julian yang paling dinantikan Ifat. Tapi, aku tidak boleh mengorbankan perasaan siapapun. Walau pada ujungnya, perasaanku sendiri yang akan sakit.
“Karena hati Yan gak sependapat dengan hatinya”
“Gak sependapat gimana ni Yan?” Tanyaku penuh curiga.
“Yan gak ada rasa sedikit pun ama dia Cin, tapi ada satu hal yang ingin Yan katakan, kalo Ifat tu sebenarnya adalah cewek yang sempurna” sambungnya.
Julian membalikkan halaman bukunya. Aku menatap wajahnya. Berpikir apa dia akan menerima Ifat ato menolaknya. Ifat memang wanita yang sempurna, dia cantik, cerdas, baik, dan dia mampu menutup hatinya untuk menunggu seorang Julian. Tidak seperti diriku yang si buruk rupa, bodoh, plin-plan pulak lagi, Tapi ada 1 hal yang ku banggakan dari diriku, yaitu..kayaknya gak perlu di publikasikan dech. Hehehe.
Lalu, Julian kembali menatapku dalam. Tatapan yang ingin menemukan sesuatu dalam diriku. Menarik semua perhatianku dengan kata-kata yang membelaiku hingga lelap dalam mimpi indah.
“Yan sekarang udah berada di ‘dekat’ hatinya Ifat, tapi Yan inginkan Cindy yang berada di ‘dalam’ hati Yan.”
Aku terpaku mendengarkan ucapannya barusan. Di satu sisi aku seneng dengernya, tapi di sisi lain aku merasa amat sangat bersalah ama Ifat, karena telah menjadi tirai di balik cerita ini. Tapi aku hanya menginginkan yang terbaik. Yang terbaik buat aku, Ifat dan Julian.
****
Malam ini, pukul 19.24 Aku membuka laptop.
“Malam ini, 13 Juni 2010 Aku ingin mencurahkan semua yang ku rasa, tapi gak tau ama siapa.
Aku sering dihadapkan pada dua pilihan. Tapi, ini lebih sulit dari apa yang pernah aku pilih sebelumnya. Maafin aku Fat karena aku udah boongin kamu dan prasaan ini selama ini. Bagaimana rasa ingin taunya kamu tentang Julian, lebih kuat rasa ingin tahuku, Fat. Ketika kau merindukan Julian, aku lebih merindukannya. Ketika kau bercerita padaku tentang rasa cintamu dengan Julian, aku merasa sakit, Fat. Kusembunyikan rasa ini karena aku tahu, Ifat lebih dulu mengeja sunyi. Percayalah! Ifat tak akan terluka. Aku menginginkan Ifat bahagia.
Tutuplah rapat-rapat pintu masa lalu
Episode dari tragedi masa lalu kini telah berakhir, kesedihan takkan mampu untuk memperbaikinya, sikap apatis dan melankolis tidak dapat menghasilkan sesuatu yang benar, depresi tidak akan pernah mampu mengembalikan masa lalu ke dalam kehidupan sekarang, karena masa sesungguhnya sudah selesai. setiap anak manusia pasti menghadapinya. Seseorang akan mengalami kegoncangan jiwa (penyakit yang dapat menghancurkan kekuatan untuk hidup pada saat ini) jika selalu mengingat-ingat masa lalu serta tragedi-tragedi yang terjadi di dalamnya. Milikilah tujuan hidup yang kuat dan jelas jika ingin berhasil melampaui dan melupakan masa lampau, siapkan sikap mental yang prima jika tidak ingin meliah lagi cahaya masa lalu, sebab sesungguhnya masa lalu itu berada pada sisi yang paling gelap dalam relung-relung kalbu. Karena itu tutupal rapa-rapat pintu masa lalu, jangan biarkan bayangan mimpi buruk masa lalu mengganggu hidup masa kini, jangan biarkan pikiran anda dikuasao bayang-bayang kenangan pahit masa lalu yang tidak akan pernah dicapai kembali. Selamatkanlah diri anda dari bayang-bayang masa lalu yang menghantui, mintalah campur tangan Tuhan untuk mengatasinya. Tak seorangpun mampu mengembalikan matahari ketempat semula ia terbit, anda juga tidak dapat mengembalikan bayi kedalam rahim ibunya atau menyimpan kembali air mata kekelopak mata. Dengan terus menerus mengingat masa lalu serta kejadian-kejadiannya, maka anda telah memposisikan diri pada kondisi hidup yang tragis dan anda hidup anda masa kini dibelenggu oleh masa lalu. Jangan biarkan hati anda terkoyak hanya untuk mengenang masa lalu yang pahit. Jangan biarkan jiwa anda tertekan hanya karena memikirkan sesuatu yang sudah selesai. Terlalu banyak mengenang dan memikirkan masa lalu berarti anda telah banyak meghamburkan masa kini yang anda miliki. Ingatlah ketika ALLAH menerangakan kondisi bangsa-bangsa terdahulu, Dia Yang Maha Perkasa berfirman "itu adalah umat yang lalu" (al-baqarah 2:134). Ingat, hari yang lalu telah berlalu dan itu sudah selesai, jangan lagi anda menganalisanya dan memutar kembali roda sejarah yang kelam, karena anda tidak mendapat manfaat apapun darinya. Jangan pindahkan orang mati dari kuburnya, orang yang ingin hidup dimasa lalu sama seperti orang menggergaji serbuk kayu. Malapetaka bagi anda, jika anda tidak mampu berinteraksi dengan masa kini, berarti anda telah menyia-nyiakan istana yang indah, anda hanya meratapi bangunan yang telah hancur. Jika setiap jin dan manusia bersama-sama membawa masa lalu, mereka pasti takkan mampu dan pasti akan gagal. Segala makhluk yang ada diatas bumi saja selalu bergerak maju, tumbuh dan berkembang, maka anda juga harus berbuat demikian. Anda harus mempersiapkan diri untuk memasuki masa kini dan menyongsong era baru, tentunya dengan iman dan spirit yang baru pula.Teguhkan iman dalam jiwa, bersandarlah kepada ALLAH dan yakinlah ALLAH bersama anda. "Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu-lah kami mohon pertolongan" (al-fatihah 1:5).
Langganan:
Komentar (Atom)